Rabu, 11 Februari 2009

KISI KISI SEMESTER III

  • Definisi belajar
  • Perubahan perilaku
  • 3 (tiga) sudut pandang keadaan diri Individu
  • Kedisiplinan dalam belajar.
  • Motivasi belajar.
  • Sikap.


Sabtu, 07 Februari 2009

KISI UJIAN SEMESTER 1

  • Manfaat & Tujuan dari “pengenalan diri”.
  • Manfaat dari kegiatan fisik berupa ”sit up” dan ”push-up”.
  • Pengertian Kedisiplinan.
  • faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar?
  • sumber stress (stressor) pada wanita yang secara spesifik berbeda dengan pria.
  • Beberapa otot utama yang memberikan postur dan bentuk tubuh.
  • Tujuan dari pemberian sangsi/hukuman terhadap pelaku indisipliner
  • Penyebab stress (stressor) pada individu?

Senin, 02 Februari 2009

DISIPLIN

DISIPLIN
Disiplin berasal dari akar kata “disciple“ yang berarti belajar.
Disiplin merupakan arahan untuk melatih dan membentuk seseorang melakukan sesuatu menjadi lebih baik.
Makna ketertiban dan ketaatan berkaitan dengan pendidikan, karena suatu pendidikan yang berhasil mau tak mau mengandung unsur sanksi atau hukuman terhadap murid agar mendapat dorongan lebih kuat untuk mewujudkan potensi dirinya. Itu sebabnya mendisiplinkan berarti menegakkan peraturan dalam rangka memajukan proses pendidikan, mengasuh anak didik lewat penjatuhan hukuman yang membetulkan perilaku dan merangsang murid maju, bukan untuk memuaskan si pendisiplin berangkara murka.
Disiplin sangat penting dalam semua bidang kehidupan, dalam lingkup suatu pekerjaan disiplin bermanfaat mendidik pegawai untuk mematuhi dan menyenangi peraturan, prosedur, maupun kebijakan yang ada, sehingga dapat menghasilkan kinerja yang baik
Asumsi : Tidak ada orang yang sempurna, oleh sebab itu setiap individu dimungkinkan untuk melakukan kesalahan dan belajar dari kesalahan tersebut. Tindakan koreksi dilakukan apabila individu tidak dapat mematuhi peraturan sesuai standar minimal atau tidak dapat meningkatkan tujuan organisasi.

Sanksi indisipliner dilakukan untuk mengarahkan dan memperbaiki perilaku pegawai dan bukan untuk menyakiti. Tindakan disipliner hanya dilakukan pada pegawai yang tidak dapat mendisiplinkan diri, menentang/tidak dapat mematuhi praturan/prosedur organisa
TEGURAN LISAN
TEGURAN TERTULIS
SKORS
SANKSI TERAKHIR

PRINSIP-PRINSIP Menegakkan Disiplin Dalam organisasi
1. Pemimpin mempunyai prilaku positif (sebagai contoh)
Untuk dapat menjalankan disiplin yang baik dan benar, seorang pemimpin harus dapat menjadi role model/panutan bagi bawahannya. Oleh karena itu seorang pimpinan harus dapat mempertahankan perilaku yang positif sesuai dengan harapan staf.
2. Kesegeraan
Pimpinan harus peka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bawahan sesegera mungkin dan harus diatasi dengan cara yang bijaksana. Karena, bila dibiarkan menjadi kronis, pelaksanaan disiplin yang akan ditegakkan dapat dianggap lemah, tidak jelas, dan akan mempengaruhi hubungan kerja dalam organisasi tersebut.
3. Lindungi Kerahasiaan (privacy)
Tindakan indisipliner akan mempengaruhi ego staf, oleh karena itu akan lebih baik apabila permasalahan didiskusikan secara pribadi, pada ruangan tersendiri dengan suasana yang rileks dan tenang. Kerahasiaan harus tetap dijaga karena mungkin dapat mempengaruhi masa depannya .
4. Fokus pada Masalah.
Pimpinan harus dapat melakukan penekanan pada kesalahan yang dilakukan bawahan dan bukan pada pribadinya, kemukakan bahwa kesalahan yang dilakukan tidak dapat dibenarkan.
5. Peraturan Dijalankan Secara Konsisten
Peraturan dijalankan secara konsisten, tanpa pilih kasih. Setiap pegawai yang bersalah harus dibina sehingga mereka tidak merasa dihukum dan dapat menerima sanksi yang dilakukan secara wajar.
6. Follow Up (Evaluasi)
Pimpinan harus secara cermat mengawasi dan menetapkan apakah perilaku bawahan sudah berubah. Apabila perilaku bawahan tidak berubah, pimpinan harus melihat kembali penyebabnya dan mengevaluasi kembali batasan akhir tindakan indisipliner.

Modifikasi Perilaku
Dapatkah perilaku bawahan dirubah oleh perubahan perilaku pimpinan ?
Apakah perilaku pimpinan dapat digunakan sebagai contoh yang baik dan layak ditiru oleh bawahannya ?
Ada beberapa cara yang dapat digunakan pimpinan untuk menstimulasi bawahan agar dapat merubah perilaku yang kurang baik kearah yang lebih baik sehingga peningkatan kinerja sesuai standar dapat dicapai:
1. Penguatan yang positif
Penguatan positif akan meningkatkan kemungkinan individu untuk mengulangi kembali tindakan yang diharapkan. Hal ini dapat dilakukan dengan segera memberikan pujian terhadap hal positif yang dilakukan bawahan .
Contoh :
“ Anda telah mengumpulkan informasi yang berharga selama anda mewawancarai Tn. Saroja “
” Saya sangat menghargai pegawai yang menghadiri pertemuan ini “
2. Menstimulasi bawahan adalah dengan memberikan umpan balik, seperti : perhatian, hadiah, tugas khusus, naik jabatan, pujian, senyuman dan lain-lain. Pengakuan adalah salah satu penguatan yang mudah dilakukan disamping murah. Oleh karena itu seorang pemimpin harus mengetahui dan memahami bentuk dorongan seperti apa yang perlu diberikan pada setiap bawahan dalam berbagai situasi.

TEKNIK BELAJAR

Belajar adalah : perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh pengalaman atau latihan. Pengulangan-pengu-langan yang dilakukan membuat seseorang dapat menguasai sesuatu.

Pendengaran = 11%
Pengecapan = 1 %.
Penciuman = 3,5 %
Perabaan = 1,5 %
Pengelihatan =83 %

Cara Belajar di Perguruan Tinggi
Belajar Mandiri
Pada belajar mandiri, aktivitas perencanaan belajar (menen-tukan tujuan, target nilai, atau strategi belajar yang akan dilakukan, menentukan waktu belajar yang sesuai dengan kegiatan lainnya) dilakukan secara mandiri.
Dalam belajar mandiri cepat pula ditentukan sumber-sumber belajar yang dapat diperoleh, seperti buku-buku, perpustakaan, fotokopi, pinjaman dari teman, dan sebagainya.
Biasanya kalau materi cukup banyak dan detail, dapat dilakukan peta belajar/berpikir (mind mapping) dan membuat ringkasan atau membuat kerangka dari bahan yang akan dipelajari, sehingga mencakup semua bahan yang ada. Sedangkan apabila waktu untuk penguasaan cukup lama, maka materi dapat dipelajari satu persatu secara lebih mendetail dengan membaca terlebih dahulu, baru membuat catatan kecil tentang apa yang dapat dipahami dari bacaan (langkah demi langkah) (Slavin 1994).

Belajar Bersama
Ada beberapa hal yang dibutuhkan agar belajar bersama berhasil. Dalam belajar bersama mahasiswa harus memiliki keterampilan berkomunikasi, karena dalam belajar bersama ada dua peran yang harus dilakukan, yaitu peran sebagai pembicara (saat menjelaskan) dan peran sebagai pendengar (saat mendengar-kan). Peran ini dapat bergantian dilakukan di antara teman-teman yang belajar bersama. Di sini perlu diperlihatkan bahwa jangan sampai hanya satu orang saja yang mendominasi pembi-caraan dan yang lain hanya sebagai pendengar saja. Menurut penelitian McDonald (1985, dalam Slavin, 1994), mahasiswa yang belajar bersam^ (cooperative learning) dapat mengingat lebih lama materi-materi yang dipelajari daripada mahasiswa yang tidak belajar bersama. Yang menarik adalah bahwa rekan yang menerangkan dan menjelaskan dapat mempelajari lebih banyak daripada yang mendengarkan. Hal itu merupakan keuntungan dari belajar bersama.

Belajar Secara Institusional
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mengikuti kuliah.
1) Mempersiapkan dirt,
(a) Memperoleh garis besar dari pokok atau topik persoalan yang akan dibahas.
(b)Mempersiapkan peralatan yang akan dipergunakan dalam mengikuti kuliah, seperti alat tulis, buku catatan, buku pegangan (cetak), kalkulator kalau diperlukan atau alat-alat lain untuk praktikum;
2) Mencatat bahan atau materi kuliah. Sebaiknya dalam mencatat kuliah yang dicatat adalah pokok-pokoknya saja, tidak perlu setiap kata yang diucapkan pengajar dicatat, karena akan memakan waktu dan kita tidak dapat memeroleh intinya.
3) Mencernakan hasil kuliah. Kegiatan ini dilakukan setelah kuliah, yaitu mahasiswa membaca atau mengulang kembali catatan yang dibuat pada hari tertentu. Sering juga dilakukan dengan merapikan catatan kuliah sehingga lebih mudah dibaca kembali.
Persiapan ujian.
1) Membuat jadwal review. Sebaiknya dua atau satu minggu sebelum ujian kita membuat jadwal review, sehingga kita dapat membagi waktu. Kita pun harus membuat jadwal waktu belajar dan dengan konsekuen menepatinya, tidak menunda-nunda sampai semalam sebelum ujian. Di sinilah pentingnya mempelajari kembali apa yang pernah dipelajari, seperti ringkasan, atau membaca kembali catatan untuk mempertajam ingatan dan pema-haman kita.
2) Dalam belajar kembali, kita dapat memaparkan kembali, ringkasan Skema, denah, chart (gambar skematik), map (peta) yang telah kita buat Sedangkan untuk latihan, perbanyaklah menjawab pertanyaan atau soal-soal latih­an, baik yang pernah dikerjakan maupun yang belum pernah dikerjakan.
3) Sebelum menghadapi ujian sebaiknya kita mempersiap­kan perlengkapan yang dibutuhkan, seperti alat tulis, kertas buram, kalkulator atau lainnya yang apabila tidak dipersiapkan akan memengaruhi keberhasilan dalam menempuh ujian. Sebaiknya sehari sebelum ujian semua-nya sudah dipersiapkan, sehingga pada pagi hari kita tidak terburu-buru dan terlambat sampai di tempat ujian

e. Mengerjakan ujian.
Beberapa kiat agar dapat mengerjakan ujian dengan efektif antara lain adalah: menenangkan diri, umpamanya berdoa atau menarik nafas dalam-dalam (setelah menerima kertas soal dan kertas jawaban). Kemudian baca petunjuk ujian dengan hati-hati agar tidak salah mengerti dalam mengerjakannya. Jangan cepat terpancing dan terpaku pada satu soal yang tidak diketahui jawabannya karena akan membuang waktu saja. Aturlah waktu dalam mengerjakan soal. Hal ini perlu agar nilai yang diperoleh dapat setinggi mungkin. Hasil ujian dapat merupakan umpan balik yang berharga untuk membuat rencana belajar selanjutnya. Oleh sebab itu, janganlah terlalu larut dalam emosi menanggapi hasil ujian.


TEORI BELAJAR
1. Teori Daya
Aristoteles menyatakan bahwa jiwa terdiri atas berbagai kekuatan (daya). Belajar merupakan upaya melatih daya-daya itu. Pelatihan daya berpikir dengan memperbanyak mengerjakan soal-soal hitungan dan menjadi kuat daya pikir, seperti halnya pelatihan otot tangan yang terus-menerus akan kuat mengangkat barang'barang yang besar.
2.Teori Koneksionisme
Berdasarkan pendapat bahwa belajar mempakan kegiatan mendapatkan ikatan hubungan kuat antara stimulus (S) dengan respons (S). Rumus teorinya Sarbond SR (S dan , R) dikaidiubungkan. Teori ini mengakibatkan cara belajar dengan melimpahkan berbagai pelatihan soal berjawab yang tak terbantah.
3. Teori Gestalt
Teori Gestalt diketengahkan oleh Max Wertheiner, yang menyatakan bahwa belajar ialah mencari tilikan, penglihatan. Dalam tiap persoalan (kesulitan) terdapat inti yang menjadi kunci pemecahan yang harus ditilik atau diamati. Seutas benang kusut tentu ada pangkal ujungnya. Bila kita menemukan keduanya itu, tentu dapat mengurangi suatu persoalan. Seluruhnya terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Bila bagian yang hilang dapat teramati, dapatlah kita memecahkan persoalan itu.
4. Teori Belajar Bermaksud.
Edward Tolman mengemukakan bahwa belajar merupakan pengorganisasian perbuatan (kelakuan) untuk meraih maksud. Maksud itu menjadi keperluan utama yang terendap pada nurani kejiwaan (psycho) pada diri mereka yang sedang belajar. Teori belajar sebagai pengalaman. Teori ini dikenal dengan learning by doing atau belajar sambil berbuat, sejalan dengan ungkapan pengalaman adalah guru yang paling baik. Artinya, kita harus menga-laml sendiri, melakukan berbagai pemecahan persoalan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar
1. Faktor intern
a. Aspek kejiwaan
Keadaan inteligensi dapat mewamai proses seseorang. IQ tinggi (genius) lebih mudah mengalami proses bela­jar daripada orang dengan IQ-nya rendah. Di samping itu, pembawaan, keadaan emosi, kekuatan kemauan, aya fantasi, semuanya berpengaruh terhadap belajar.
b. Aspek jasmaniah
Keadaan alat indra, kesehatan, anggota badan ber­pengaruh kepada jalannya belajar dalam keadaan sakit atau sedih, misalnya seseorang tentu tidak dapat bela-jar secara layak atau baik.
2. Faktor ekstern
Segala hal, baik benda atau orang, maupun suasana dan keadaan yang melingkupi atau mengelilingi orang yang ' belajar berpengaruh kepada proses dan hasil belajar seseorang. Belajar dalam keadaan yang teratur, nyaman, bersih, jauh dari kebisingan dan tidak diganggu teman yang mengganggu (mengajak mengobrol, menonton, bermain-main, dan sebagainya) akan lebih berhasil daripada dalam lingkungan semrawut banyak gangguan teman untuk
berbuat yang bukan-bukan.
3. Faktor teknik pendekatan belajar
Teknik-teknik belajar yang umum di antaranya adalah metode partial, metoda global, dan metode gabungan.
A Metode partial, yaitu belajar dengan cara .sebagian demi sebagian, setahap demi setahap berturut-turut.
B. Metode global, yaitu belajar dengan cara mempelajari keseluruhan dahulu secara umum, baru kemudian sebagian-sebagian, setahap demi setahap sehingga bagian-bagian renik menampak dengan jelas.
C. Metode gabungan, yaitu dengan cara belajar dengan dimulai menyeluruh, kemudian sebagian demi seba­gian, lalu menyeluruh lagi dengan penuh kecermatan, kemudian mempelajari lagi bagian demi bagian secara mendalam. Demikianlah seterusnya.

Jumat, 21 November 2008

KISI-KISI MID SEMESTER (SMT 1 & 3)

Kisi2 soal Mid Semester 1
1. penyesuaian diri apakah yang saudara lakukan pada lingkungan akademis Universitas Boyolali?
2. ”Men sana in corporesano’ setuju/tidak. alasan?
3. manfaat dari streching? Jelaskan.
4. Sebutkan berapa sumber stress (stressor) pada wanita.
5. Apakah yang dimaksud dengan adaptasi? Berikan contoh
6.Sebutkan penyebab stress (stressor) bagi individu! Jelaskan.



Kisi3 soal mid semester semester 3
1. cara meningkatkan motivasi dalam belajar ?.
2. jelaskan manfaat dari mind map?
3. motivasi berprestasi ?
4. harga diri akademis? Jelaskan

Jumat, 07 November 2008

HARGA DIRI AKADEMIS (FMD III)

Dalam bab ini dibahas mengenai:
. Pengertian berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep-
diri seperti:
- Skema-Diri
- Harga-Diri
- Kompetensi-Diri
- Keberhargaan-Diri
- Harga-Diri-Akademis
- Efektif-Diri
• Perkembangan Konsep-Diri
• Peranan Harga-Diri-Akademis dalam mencapai Prestasi
Akademis
• Kiat-kiat mengembangkan Harga-Diri-Akademis yang positif

Cara seseorang memandang dirinya akan sangat menentukan bagaimana ia akan berespons terhadap dirinya sendiri maupun lingkungannya, juga dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup maupun mengalami kehidupan. Dalam bidang pendi­dikan, Colangelo dan Assouline (1995) menemukan dalam penelitiannya sendiri dan penelitian banyak ahli lain bahwa konsep-diri, dalam arti bagaimana seseorang memandang diri-nya, berhubungan baik dengan prestasi akademis, maupun sikap terhadap sekolah, juga sikap umum terhadap diri dan kehidup-an. Sering dijumpai, individu yang tidak mampu berprestasi sesuai dengan kemampuannya kehilangan tujuan dan gairahnya dalam pendidikan. Banyak penelitian membuktikan bahwa sebab dari underachievement ini adalah konsep-diri, khususnya harga-diri-akademis, yang tidak sehat atau negatif.
Untuk sukses dalam pendidikan dan berhasil menerapkan ilmu yang. diperolehnya, mahasiswa hams menggunakan seluruh potensi yang dimilikinya. Konsep-diri yang positif diharapkan bisa membantu mereka dalam menampilkan seluruh potensi yang ada pada mereka. Oleh karena itu, mahasiswa perlu memahami konsep yang berkaitan dengan dirinya serta memupuk konsep-diri, khususnya harga-diri-akademis yang sehat untuk bisa berbahagia dan sukses di Perguruan Tinggi dan kelak mengaplikasikannya dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat tempat ia hidup.


A. Berbagai Pengertian Berkaitan dengan Konsep-Diri (self-concept)
Untuk memahami pandangan individu mengenai diri-nya, perlu dipahami berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep-diri. Konsep-konsep itu adalah: konsep-diri, skema-diri, harga-diri, kompetensi-diri, keberhargaan-diri, dan harga-diri-akademis.


1. Konsep-Diri (Self-Concept)
Gage dan Berliner (1991, him. 157) merumuskan konsep-diri sebagai ".. .totality of the perceptions that we have about ourselves; our attitudes toward ourselves, the language we use to describe"'. Hall
. Liridzey (dalam Frey dan Carlock, 1984) membedakan dua • konsep-diri ini sebagai berikut. Pertama dalam rumusan baeai sikap, perasaan, dan evaluasi mengenai diri sendiri. Kedua sebagai proses berpikir, mengingat, dan persepsi menge­nai diri sendiri. Rumusan pertama berkaitan dengan harga-diri, harea-diri-akademis, dan efektif-diri, sedangkan rumusan kedua lebih berkaitan dengan skema-Diri.
2. Skema-Diri
Hazel Markus (dalam Deaux, Kay dan kawan, 1993, him. 53) mendefinisikan skema-diri (self-schemes) sebagai: "...cognitive generalizations about the self derived from experience, that organize and guide the processing of self-related information contained in the individual's social experiences." Skema-diri merupakan pengetahuan-pengetahuan yang di-kumpulkan individu mengenai dirinya. Tidak ada unsur perasa­an di sini. Misalnya tinggi saya 150 cm, berat saya 80 kg.
3. Harga-Diri (Self-Esteem)
Malhi (1998:2) merumuskan harga-diri sebagai "...the overall evaluation of oneself in either a positive or negative way." Jadi, kalau skema-diri berisi gambaran yang dimiliki oleh individu menge­nai dirinya yang bersifat kognitif, tanpa diwarnai oleh perasaan, maka dalam penghargaan diri, yang merupakan bagian evaluatif dan konsep diri, individu memberi nilai terhadap konsep dirinya. Dalam penghargaan diri terdapat nuansa perasaan baik positif maupun negatif. Misalnya, saya terlalu gembrot, tidak menarik, dan sebagainya. Frey dan Carlock (1984) mengajukan dua komponen dalam harga-diri, yaitu kompetensi-diri dan keberhargaan-diri.Kompetensi-diri (Self-competence) adalah perasaan seseorang Memupuk Harga diri, bahwa dirinya kompeten untuk menjalani hidup. Malhi (1998) menyimpulkan bila individu memiliki kompetensi-diri yang positif maka ia akan memiliki kepercayaan-diri dan yakin akan kemampuannya untuk menghadapi tan-tangan-tantangan dasar dalam kehidupan. • Keberhargaan-diri (Self-worth), di lain pihak, adalah perasaan bahwa dirinya cukup berharga untuk hidup. Malhi (1998) menyimpulkan dengan rasa keberhargaan-diri yang positif individu akan menerima dirinya apa adanya dan merasa dirinya pantas untuk hidup dan berbahagia.
4. Harga-Diri-Akademis (Academic-Self-Esteem)
Harga-diri-akademis adalah harga-diri yang khusus berkaitan dengan kehidupan akademis individu. Skaalvik (1990, him. 594) merumuskan harga-diri-akademis sebagai berikut: "...the indivi­dual's general feeling of doing well in school an his or her satisfaction with his or her achievement". Harga-diri-akademis inilah yang secara khusus berkaitan dengan keberhasilan dalam pendidikan, termasuk di Perguruan Tinggi.
5. Efektif-Diri (Self-Efficacy)
Bandura (dalam Hall dan rekan-rekan, 1999, him. 609) merumuskan efektif-diri sebagai: "...expectation that one can, by personal effort, master a situation and bring about a desired outcome", Jadi, dalam efektif-diri ini, harga-diri dikaitkan pada satu macam situasi atau tugas secara spesifik.


B. Perkembangan Penghargaan Diri Akademis
Konsep-diri memang bukan merupakan sesuatu yang dibawa individu pada saat kelahirannya, bahkan pada awal-awal ke­hidupan individu belum memiliki konsep mengenai dirinya.
K mun bersamaan dengan kematangan yang dicapai, baik dalam , _njsi emosi maupun sosialnya, konsep-diri akan terbentuk dan menjadi bagian yang sangat penting dalam diri individu, vane menentukan bentuk kehidupan yang akan dialaminya kelak.
Beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan harga-diri-akademis adalah faktor-faktor eksternal seperti lingkungan keluarga iklim kampus, dosen, teman sebaya, kurikulum, dan sebagainya, sedangkan faktor internal antara lain keyakinan, kompetensi personal, dan keberhasilan personal.
Dengan demikian, berdasarkan pengalaman sepanjang hidupnya baik melalui introspeksi maupun umpan-balik dari lingkungannya, individu menyusun skema-dirinya. Misalnya, bentuk fisiknya, kemampuan-kemampuan khususnya, seperti saya mampu menempuh jarak 100 m dalam waktu 10 detik, saya tidak bisa bermain sepatu roda. Mula-mula semua penge-tahuan mengenai diri yang dikumpulkan ini bersifat netral, tanpa diberi bobot penilaian maupun perasaan. Namun pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk memberi penilaian terhadap segala sesuatu, termasuk terhadap dirinya sendiri. Bersamaan dengan penilaian ini, misalnya saya lamban, tidak menarik, kikuk, cerdas, menyenangkan, dan sebagainya, muncul perasaan-perasaan dalam diri individu terhadap dirinya sendiri. Maka dari skema yang kita susun mengenai diri kita itu, setelah diberi penilaian, jadilah harga-diri, yaitu seberapa kita menghargai atau memberi arti mengenai diri sendiri. Bila dari totalitas pandangan kita mengenai diri sendiri umumnya kua melihat aspek-aspek diri kita sebagai positif, walaupun ada beberapa aspek yang negatif, maka kita disebut memiliki harga-airi yang positif Sebaliknya bila kebanyakan aspek dalam diri sendiri ki'.a nilai sebagai negatif dan hanya sedikit yang kita mlai positif maka kita disebut sebagai individu dengan harga-yang negatif.




Bila diperhatikan pada gambar 1 dan 2, tampak sel-sel tidak memiliki ukuran yang sama. Semua itu tergantung pada arti dari masing-masing sel bagi individu. Sesuatu yang lebih berarti membentuk sel yang lebih besar ketimbang sesuatu lain yang kurang berarti baginya. Misalnya bila kecerdasan tidak cukup berarti bagi kita maka kalaupun itu merupakan kekuatan ataupun kelemahan kita maka aspek ini akan menempati sel yang lebih kecil. Sebaliknya bila daya tarik fisik sangat berarti bagi kita, maka aspek ini akan menempati sel yang besar. Dengan demikian dua orang dengan kekuatan dan kelemahan yang sama bisa memiliki harga-diri yang berbeda. Orang pertama mungkin melihatnya sebagai, "Saya memang cerdas^ tapi saya tidak menarik," sedang orang kedua memandang dengan berbeda, "Saya memang tidak menarik, tapi saya cerdas!" Pada orang pertama aspek kecerdasan menempati sel yang kecil sedangkan aspek daya tarik fisik menempatkan sel yang lebih besar, sebaliknya pada orang kedua kecerdasan menempati sel yang besar dan daya tarik fisik lebih kecil.
Simmermacher (1989) dalam 25 tahun kegiatannya dalam bidang pelayanan, menyimpulkan bahwa masalah utama yang
dialami manusia dewasa ini adalah ketidak-mampuannya men-capai konsep-diri dan harga-diri yang positif. Ini, menurutnya, yang menyebabkan tiingkat bunuh diri yang tinggi, terutama nada generasi muda, masalah napza, dan alkoholik. Rendahnya penghargaan diri jugai menyebabkan hilangnya arti dan tujuan hidup, hubungan prifoadi dan keluarga, maupun aktivitas waktu
luang.
Konsep-diri sangat ditentukan oleh pengalaman pribadi
individu, oleh karena itu bersifat subyektif dan bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan. Sehubungan dengan konsep-diri, Higgins (dalam Deaux dan rekan-rekan, 1992) memperkenalkan diri-ideal (ideal-self) dan diri-seharusnya (ought-self). Diri-ideal adalah konsep diri yang ingin kita capai: harapan, keinginan, dan aspirasi berkaitan dengan berbagai faset dari diri kita, Sedangkan diri seharuisnya adalah faset-faset dari diri kita yang harus muncul: tugas, keharusan, tanggungjawab, dan sebagainya. Diri-ideal adalah apa yang kita inginkan dengan diri kita. Oleh karena itu, makin besar kesenjangan antara keadaan diri kita dengan diri-ideal makin besar kemungkinan timbulnya depresi. Sangat menyakitkan rasanya menemukan bahwa diri kita tidak bisa seperti yang kita inginkan. Individu yang perfeksionis memiliki kecenderungan ini sehingga sering tidak puas dengan dirinya..
Diri-seharusnya berkaitan dengan apa yang kita persepsikan sebagai tuntutan oleh orang lain terhadap kita. Kesenjangan antara diri kita apa adanya dengan diri-seharusnya bisa menim-bulkan kecemasan sosial. Kita merasa tidak bisa mencapai apa yang diharapkan oleh orang lain terhadap kita.
Harga-diri-akademik adalah salah satu komponen dari harga-diri yang secara khusus berkaitan dengan masalah akademis. Jadi sel-selnya khusus berkaitan dengan masalah-masalah aka­demis. Seperti pada harga-diri yang umum, ukuran selnya bisa

berbeda-beda dan jumlah positif dan negatif pun berlainan. Secara khusus harga-diri-akademis lebih erat kaitannya dengan prestasi akademis. Sel-sel dalam harga-diri-akademis berisi efektif-diri dalam masing-masing tugas akademisnya serta karakteristik diri yang juga berkaitan dengan kegiatan akademis, seperti keluwesan menghadapi dosen, teman, dan sebagainya. Dengan demikian bisa saja seorang mahasiswa yang harga-diri-akademisnya secara umum positif namun efektif-diri dalam pelajaran statistik atau fllsafat rendah. Untuk memiliki harga-diri-akademis yang positif, sel-sel positif harus menempati daerah yang lebih luas dalam lingkaran diri.
Oleh karena harga-diri berisi perasaan individu mengenai dirinya, maka dengan sendirinya hal ini akan memengaruhi kebahagiaan individu dalam hidupnya, bagaimana ia melihat dunianya, dan merespons lingkungan maupun dirinya sendiri.





C. Peranan Harga-diri-Akademis dalam Mencapai Prestasi
Hubungan antara harga-diri-akademis dengan prestasi akademis adalah hubungan timbal-balik. Individu dengan harga-diri-akademis yang tinggi atau positif akan dapat lebih mengguna-kan potensinya secara optimal. Mereka tidak terbebani oleh perasaan-perasaan negatif sehingga seluruh energinya dapat diarahkan pada upaya pencapaian prestasi akademis setinggi kemampuannya. Dengan demikian harga-diri-akademis menye-babkan peningkatan prestasi sesuai dengan potensinya. Sebalik-nya prestasi yang baik akan menumbuhkan keyakinan akan kemampuannya, dengan demikian bisa meningkatkan harga-diri-akademis (Gambar 1).
Hubungan ini juga bisa dijelaskan melalui kaitan antara harga-diri-akademis dengan tingkat aspirasi akademis. Dalam penelitian terhadap mahasiswa pada Institut Pertanian Bogor dijumpai hubungan yang bermakna antara keduanya (Fitasan, 1994). Bila diingat bahwa aspirasi akademis yang positif akan membantu mahasiswa menetapkan sasaran yang realistik dan menantang baginya sehingga membangkitkan motivasi untuk berprestasi, maka harga-diri-akademis secara tak langsung juga membangkitkan motivasi untuk berprestasi. Harga-diri-akademis yang positif membawa perasaan nya-man bagi mahasiswa dalam menjalankan tugas belajarnya. Sebagaimana dinyatakan Frey dan Carlock (1984), individu dengan penghargaan diri yang Positif, sebagai individu yang cenderung menghargai dirinya, menganggap dirinya berarti atau berharga, serta sejajar dengan orang lain. Mereka tidak merasa perlu berpura-pura sempurna, mereka mengenali keterbatasannya dan mengharap akan berkembang serta meningkatkan dirinya. Sedangkan individu dengan harga-diri yang negatif sering mengalami penolakan pada dirinya sendiri, tidak puas terhadap dirinya. DePorter (1992) maupun Rose dan Nicholl (1997) mengajukan bahwa untuk bisa belajar dengan optimal dan mencapai prestasi yang baik, pengalaman belajar haruslah menyenangkan, berapa pun usia peserta didik.
Mahasiswa dengan inteligensi yang tinggi, memiliki kesem-patan untuk mencapai prestasi yang lebih baik bila cukup berusaha. Oleh karena itu, mereka juga memiliki kemungkinan untuk memiliki harga-diri-akademis yang lebih baik pula. Namun ternyata penelitian-penelitian mengenai hubungan antara inteligensi dan harga-diri-akademis menampilkan hasil yang bervariasi. Dalam beberapa penelitian, seperti penelitian dari Stoyanova (1995) pada kelompok MENSA, suatu kelompok internasional IQ di atas persentil 98, dan penelitian Peters dan rekan (1995) pada siswa-siswa Cina, baik yang berbakat maupun yang tidak, menjumpai tidak ada kaitan antara inteligensi dan harga-diri-akademis. Namun pada penelitian terhadap siswa-siswa Belanda yang berbakat maupun tidak, temngkap hubung­an yang bermakna. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dalam sejumlah peneliti lainnya (Peters dan kawan-kawan, 1995). Penyebab perbedaan temuan-temuan itu mungkin karena adanya perbedaan lingkungan belajar. Pada kelompok MENSA maupun pelajar di Cina, lingkungan belajar disusun secara homogen. Dengan demikian tingkat inteligensinya tidak banyak berbeda. Sedangkan di Belanda lingkungan belajar dirancang secara heterogen, tidak ada pemisahan berdasarkan kemampuan siswa. Senge dan rekan (2000) mengajukan argumentasi bahwa harga-diri tidak harus berkaitan dengan kemampuan individu dalam mencipta. Alasannya adalah: pertama, fokusnya berbeda. Dalam mencipta fokus adalah pada obyek ciptaan, sedangkan harga-diri berfokus pada diri sendiri. Maka bila individu mencipta bukan untuk mendapatkan pengakuan atau pengharga-an, semata-mata untuk menghasilkan ciptaannya, maka harga-diri tidak harus berkaitan dengan kemampuan mencipta. Kedua, dalam proses kreatif, berbeda dengan anggapan kebanyakan orang, pencipta pertama-tama akan mencintai sesuatu yang akan diciptanya, baru kemudian muncul hasil ciptaan tersebut. Tidak terpikir pada awalnya apakah ia mampu atau tidak. Bisa saja pada akhirnya gagal.
Yang juga menarik adalah penelitian dari Lasmahadi (1992) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang menemukan hubungan yang bermakna antara harga-diri-akade­mis dengan perilaku curang dalam tes. Mahasiswa dengan harga-diri-akademis yang negatif memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berlaku curang dalam tes ketimbang mahasiswa dengan harga-diri-akademis yang positif. Tidak mengherankan sebab mahasiswa dengan harga-dini-akademis yang positif umumnya cukup mampu menerima dirinya apa adanya. Mereka menyadari baik kekuatan maupun kelemahannya dan yakin akan kemampuannya untuk berkembang dan memperbaiki diri. Kelemahan dilihat sebagai umpan balik untuk memperbaiki diri, tidak perlu berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Cukup mencemaskan adanya temuan yang menunjukkan bahwa dengan waktu dan tingkat pendidikan, harga-diri-akademis makin lama makin rendah (Colangelo dan Assouline, 1995). Banyak alasan yang bisa mendukung keadaan ini. Makin tinggi tingkat pendidikan, makin sulit mencapai prestasi yang baik sehingga pengalaman gagal tentu saja makin besar. DePorter (1992), Rose dan Nicholl (1997), mengajukan sikap dan teknik mengajar guru sebagai penyebabnya. Menyadari besarnya pengaruh harga-diri-akademis terhadap prestasi belajar maupun proses belajar mengajar, maka melaku-kan pemantauan terhadap harga-diri-akademis dan mengupaya-kan peningkatannya sangat penting dalam bidang pendidikan. Beberapa karakteristik individu dengan harga-diri-akademis positif adalah sebagai berikut:

• Menyadari baik kekuatan maupun kelemahannya sehingga memiliki orientasi yang realistik. Kesadaran diri yang tepat membantunya menyusun strategi dalam menghadapi tugas-tugas akademis yang dihadapinya.
• Menerima diri apa adanya, tidak merasa perlu berpura-pura sempurna namun merasa bertanggungjawab untuk mening-katkan diri.
• Memiliki rencana pengembangan diri dan melaksanakan serta memonitor pelaksanaan tindakan tadi dengan ber­tanggung jawab.
• Memiliki pandangan yang positif mengenai kehidupan akademis dan bidang-bidang ilmu yang ditempuhnya.

D. Pengembangan Ha rga-diri-Akademis
Skema-diri dibentuk sepanjang hidup individu. Oleh karena itu selalu terjadi penambahan-penambahan pengetahuan mengenai diri individu. Maka pada dasarnya harga-diri pun dapat berubah dan dikoreksi. Upaya koreksi hendaknya pertama-tama diarah-kan pada upaya memperkecil kesenjangan antara konsep-diri dengan konsep-diri-ideal. Malhi (1998) mengajukan sebuah model untuk meningkatkan harga-diri dalam lima tahap: kesadaran diri, menerima keadaan diri, membangkitkan tang-gung jawab untuk pengembangan diri, rencana tindakan dan pelaksanaannya, dan monitor perkembangan.
Yang perlu diingat adalah bahwa pada saat individu telah mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi, harga-diri-akade-misnya telah terbentuk sejak masa prasekolah. Oleh karena pembentukan harga-diri-akademis merupakan sebuah proses, maka untuk mengoreksi dan membentuknya kembali membu-tuhkan waktu. Pada dasarnya membangun penghargaan diri memang membutuhkan waktu (Senge dan rekan, 2000) dan
50 Sukses Belajar di Perguruan linggi
mengubah sesuatu yang sudah mapan tidaklah mudah.
Sebagai akhir bab ini, pada halaman-halaman berikut akan disajikan beberapa latihan yang dapat disarankan untuk memu-nuk harga-diri-akademik positif yang diharapkan bisa menun-jang proses belajar-mengajar di Perguruan Tinggi.

Sabtu, 01 November 2008

Ringkasan FRUSTASI & STRESS

Ringkasan

FRUSTASI DAN STRES

Sebagai manusia kita selalu dipenuhi oleh keinginan dan kebutuhan, seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera, antara harapan dan kenyataan seringkali berlainan hal tersebut menjadi suatu permasalahan yang menghinggapi setiap diri manusia.
Sepanjang hidup manusia, persoalan demi persoalan akan terus berdatangan menani untuk diselesaikan, ukuran kedewasaan dan kematangan seseorang akhirnya diukur dari seberapa bijaksana dan baiknya dia menyelesaikan masalah.

FRUSTASI
Bayangkan saudara sebagai mahasiswa UNB yang mengambil mata kuliah MDF, mendapatkan nilai yang tidak sesuai dengan yang saudara harapkan padahal saudara sudah berusaha sebaik mungkin, kuliah tidak pernah absen, tugas semua dikerjakan dengan baik, test mid semester dan semesteran dapat dikerjakan dengan baik, tetapi anda mendapatkan nilai D yang berarti anda tidak lulus dan harus mengulang kembali, anda lalu menjadi kesal bahkan marah atau perasaan lainnya, malah harinya saudara tidak dapat tidur segudang pemikiran muncul berputar-putar dan mencari sebab-sebab kegagalan saudara, mempunyai pemikiran yang buruk bahwa dosen pengampu mata kuliah tersebut tidak menyukai anda, esok harinya saudara merasa kurang enak badan setiap teringat hal tersebit saudara merasa kurang enak badan.
Peristiwa tersebut merupakan gambaran dari frustasi, frustasi terjadi apabila antara harapan dan kenyataan yang tidak terjadi tidak sesuai.
Frustasi juga dapat terjadi apabila tujuan yang henak dicapai mendapatkan rintangan. (menurut Atkinson).
Frustasi mempunyai 2 (dua) sisi, yang pertama adalah fakta tidak tercapainya harapan yang diinginkan, sisi kedua adalah perasaan dan emosi yang menyertai fakta tersebut. Pada contoh di atasadalah fakta mendapatkan nilai jelek, sedangkan sisi emosi dan perasaan berupa kesal marah dan perasaan lain yang tidak mengenakkan.


STRES.
1. Pengertian Stres.
Pengertian sederhana, stres adalah frustasi yang berkepanjangan,
Stres bisa berdampak positif bisa juga negatif, yang akan kita bahas adalah stress yang berdampak negatif.
2. Terjadinya Stres/penyebab Stres (Stressor).
a. Lingkungan fisik, meliputi: suhu, cahaya, suara, polusi, kepadatan dan lain-lain.
b. Individual, meliputi: konflik peran, tanggung jawab dan lain-lain.
c. Kelompok, meliputi: hubungan dengan teman, atasan, bawahan.
d. Keorganisasian, meliputi, kebijakan, struktur, organisasi.

3. Akibat Stres.
a. Akibat subyektif, adalah akibat yang dirasakan secara pribadi, meluputi kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan, depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran, harga diri rendah, perasaaan terpencil dan lain-lain.
b. Akibat perilaku, adalah akibat yang mudah dilihat karena berbentuk perilaku-perilaku tertentu meliputi mudah terkena kecelakaan, penyalahgunaan obat, emosional, gelisah. Dll.
c. Akibat kognitif, adalah akibat yang mempengaruhi proses berfikir, meliputi tidak mampu memusatkan perhatian/konsentrasi, sensitif terhadap kecaman dll.
d. Akibat fisiologis, adalah akibat-akibat yang berhubungan dengan fungsi atau kerja alat-alat tubuh, yaitu tingkat gula darah meningkat, denyut jantung/tekanan darah naik, mulut menjadi kering dan lain-lain.
e. Akibat organisasi adalah akibat yang tampak dalam tempat kerja meliputi absen, produktifitas rendah, mengasingkan diri, loyalitas menurun.

4. Stres pada wanita.
Wanita mempunyai stress tertentu yang disebabkan oleh faktor-faktor biologis, yang berbeda dengan pria, selain itu faktor budaya juga sebagai faktor penyebab stress pada wanita. Wanita juga mengalami stres khusus seperti menopause, frigiditas, mensturasi dan lain-lain.

5. Mengatasi stres.
Iman dan takqwa.
Istirahat, relaksasi.

Jangan Stress dong Om….Olah raga.
Dll.